Dahulu, untuk menciptakan suatu berita, seorang jurnalis harus berjuang mati-matian dalam mencari narasumber dan detail suatu kejadian supaya berita yang disampaikan akurat dan terpercaya. Berbeda jauh dengan keadaan saat ini di mana teknologi internet berkembang dengan pesat. Sekarang, setiap orang bisa menciptakan konten informasi mengenai apapun di media sosial. Sadar atau tidak sadar, setiap post yang diunggah, retweet, share, atau like merupakan bentuk dari produksi berita. Tapi pertanyaannya, apakah semua berita itu benar?
- Kehadiran berita palsu memanipulasi emosi dan perasaan kita. Ternyata, saat kita menerima informasi, reseptor/penerima pertama adalah emosi, bukan otak.
- Memuaskan konfirmasi kita akan bias yang kita miliki. Pada dasarnya, tiap manusia lebih tertarik dengan orang lain yang memiliki opini yang sama dengan mereka, dan tentunya mereka pasti ingin mendengar atau mendapat informasi yang sesuai dengan apa yang ia pikir benar. Karena inilah banyak berita palsu yang tersebar dan diterima karena isi berita yang sepemikiran dengan orang yang membacanya.
- Mendorong pemikiran kita akan konspirasi. Banyak orang yang mencoba-coba untuk menerka dan membuat prasangka tentang suatu hal yang belum diketahui penyebabnya. Mereka kemudian membuat suatu berita yang palsu untuk memenuhi rasa ingin tahu orang-orang meskipun hal yang mereka tulis itu bohong. Contohnya seperti 9/11 di Amerika memiiki banyak konspirasi yang berisi hal-hal yang belum tentu benar tapi diyakini banyak orang.
- Diawali dari candaan. Munculnya meme atau tweet bisa memicu penyebaran berita palsu apabila berita itu dipercayai banyak orang dan menjadi viral.
Kenapa penyebaran informasi dalam sosial media harus berhati-hati? Orang-orang melakukan sebuah tindakan didasari dari informasi yang mereka dapat. Contohnya, saat kamu ingin membeli motor baru, pasti hal yang dilakukan adalah mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang motor itu, seperti harga, spesifikasi, apakah irit bensin atau tidak, dan lain-lain. Apabila penyebaran informasi tersebut baik maka nilai yang didapat oleh pengakses internet pun akan positif, namun sangat disayangkan ketika penyebaran informasi tersebut untuk memancing suatu konflik dan perpecahan, seperti kasus penistaan agama oleh Ahok yang dilaporkan oleh Buni Yani yang menjadi ramai di sosial media. Ada pihak haters dan lovers. Ada yang mengatakan bahwa Ahok tidak menistakan agama namun ada yang mengatakan Ahok menghina agama tersebut. Bereda penyebaran informasi yang tidak sesuai dari pihak yang kontra dimana isu agama sangatlah sensitif sehingga masyarakat mudah dipengaruhi hingga munculnya demo 212 dan demo lainnya. Dalam film #LENTERAMAYA dikatakan bahwa konflik dan traffic akan terus ada dimana konflik terus dibuat dan traffic terus masuk ke dalam situs mereka dan mereka mendapatkan penghasilan dari iklan yang banyak. Bisa jadi ada pihak-pihak tertentu yang berusaha melebihkan berita tersebut agar bisa menarik masyarakat sehingga mencari keuntungan sendiri untuk pihaknya tersebut. Apabila masalah ini terus berlanjut khususnya dalam isu-isu SARA dalam sosial media, maka masyarakat semboyan Bhinneka Tunggal Ika hanyalah kenangan saja.
sumber: https://cdns.klimg.com/merdeka.com/i/w/news/2017/01/03/796697/670x335/kalang-kabut-pemerintah-tangkal-berita-bohong-di-media-sosial.jpg
Oleh sebab itu, semakin maraknya berita palsu saat ini tengah menjadi tantangan baru yang dihadapi masyarakat dalam dunia digital. Sekilas pasti kita bertanya-tanya kenapa ada orang yang "iseng" untuk membuat berita palsu dan menyebarnya. Tapi tentunya ada beberapa alasan mengapa berita palsu dapat "hidup" di tengah-tengah masyarakat.
Melihat dari film #LENTERAMAYA menggambarkan bukti nyata dari dampak berita palsu tersebut. Berita palsu dapat berkembang karena perkembangan digital yang semakin cepat dengan masyarakat yang ikut menggunakan berbagai fitur yang ditawarkan pula oleh kemajuan digitalisasi tersebut. Dalam film tersebut dikatakan kalau masyarakat mulai bisa menggunakan sosial media berarti semua elemen masyrakat akan masuk ke ruang baru itu. Sehingga tidak heran apabila berita palsu, hate speech, maupun propaganda dapat berkembang dengan cepat di dalamnya. Penyebaran informasi pun dapat berkembang pesat pula hanya melalui sosial media, dimana orang-orang lebih mudah percaya berita melalui sosial media dibanding berita yang valid tingkat akurasinya. Kasus teroris, penistaan agama, dan pembakaran beberapa tempat ibadah (peristiwa bom gereja Samarinda, 13 November 2016 dan pembakaran vihara tanjung balai, 29 juli 2016) menjadi contoh yang diberikan oleh film tersebut. Sosial media dapat mempengaruhi emosional masyarakat dengan mudah dan terprovokasi apabila masyarakat tidak pintar dalam menyikapi penyebaran informasi dalam dunia digital tersebut.
Untuk mengatasi masalah tersebut, terdapat tiga solusi yang dapat dilakukan menurut Steve Reiner dalam kuliah umum yang diadakan di MBRC FISIP UI tanggal 4 Mei lalu. Pertama, penyebaran hoax dan berita palsu dapat diatasi dengan kemampuan literasi digital masyarakat. Kedua, proses fact checking yang harus lebih diperketat. Bukan hanya melibatkan kejelasan sumber informasi dari pemerintah, tetapi juga proses verifikasi ketat yang harus diterapkan media online. Ketiga adalah sistem algoritma yang harus diterapkan penyedia layanan internet bekerja sama dengan pemerintah untuk menyaring berita-berita palsu dengan kata kunci-kata kunci tertentu.
Jika dalam solusi kedua dan solusi ketiga melibatkan pihak-pihak eksternal dalam pelaksanaannya, solusi pertama melibatkan anda sebagai pengguna internet yang menemukan berjuta-juta informasi setiap harinya. Sikap kritis dalam menyikapi suatu wacana di internet dan kehati-hatian dalam beropini merupakan dua kemampuan yang perlu diasah lewat pengetahuan tentang literasi digital.
Saat ini, sudah semakin banyak LSM seperti ICT Watch, Safenet, dan Kemudi (Kelas Muda Digital) yang memberikan pendidikan literasi digital kepada masyarakat. Kita pun bisa mencari informasi sendiri terkait literasi digital dalam website-website yang dimiliki lembaga tersebut. Oleh karena itu, sudah tidak ada lagi alasan bagi kita untuk tinggal diam dan tidak melawan hoax serta ujaran-ujaran kebencian yang semakin banyak beredar d internet saat ini.
No comments:
Post a Comment