Teknologi informasi dan komunikasi berkembang pesat di dunia hingga saat ini, dan Indonesia juga termasuk salah satu negara yang ikut merasakan dampak teknologi dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut bisa dilihat dalam film dokumenter singkat Linimassa 2 oleh ICT Watch dan Watchdoc. Dalam film tersebut, tercatat 55 juta masyarakat Indonesia sudah terhubung dengan akses internet, 42,9 juta di antaranya memiliki akun Facebook, dan 3,3 juta merupakan blogger.
Dalam film ini kita dapat melihat contoh dari Technology Determinism yang hadir di kalangan masyarakat Indonesia. Semenjak kehadiran akses internet di Kampung Cyber di Jogjakarta, gerai batik Lek Iwon mulai merambah pemasarannya ke dunia online dengan membuat laman Facebook dan blog yang menarik para pembeli dari luar negeri seperti Belanda maupun Jepang. Selain penjualan batik Lek Iwon, perubahan perilaku terjadi terhadap anak-anak di Kampung Cyber yang tadinya bermain di luar rumah kini bermain game yang menggunakan akses internet di komputer yang tersedia di desa dan tentunya diawasi oleh orang tua.
Kehadiran internet di Desa Mandalamekar, Tasikmalaya juga membuat warganya mulai melakukan penyebaran informasi melalui website yang berisi program pemerintah seperti pembangunan, laporan keuangan sebagai perwujudan transparansi yang ada di desa, laporan desa yang berisi kegiatan warga Mandalamekar yang meliputi karya seni, program gotong royong, dan lainnya yang sebagian kontributornya merupakan warganya sendiri. Teknologi membuat warga Desa Mandalamekar menjadi sering menerima dan juga berbagi informasi yang dimilikinya.
Selain di Kampung Cyber dan Desa Mandalamekar, internet khususnya media sosial juga mempermudah penyebaran informasi dan membantu pengembangan bagi beberapa komunitas, seperti contohnya di Jakarta. Komunitas HIV/AIDS yang memiliki 2 laman Facebook dan 4 akun Twitter yang memiliki segmentasi khalayak yang berbeda dalam penyampaian informasi mengenai HIV/AIDS. Selain komunitas HIV/AIDS, beberapa kaum difabel juga mulai merambah media sosial seperti Twitter dan Facebook. Bagi kaum tunarungu, Twitter dan Facebook dianggap lebih mudah dan nyaman karena unsur visualnya yang kuat, berbeda dengan televisi yang masih memiliki unsur audio yang lebih sulit untuk dicerna.
Selain itu, film dokumenter tersebut juga menceritakan tentang regulasi konten media yang dilakukan oleh orangtua di kampung Cyber, Yogyakarta. Dalam konvergensi media, kami sempat membahas tentang bagaimana konten media harus diregulasi penggunaannya. Regulasi ini ditegakkan dari orangtua yang mengawasi anaknya dalam penggunaan internet. Walaupun sudah mengenal internet sejak kecil, anak-anak di kampung Cyber memiliki kemampuan literasi digital yang cukup baik menurut orangtuanya sehingga dipercaya untuk menggunakan internet dalam konteks yang positif, walaupun tetap dalam pendampingan. Maka dari itu, teknologi secara tidak langsung menjadikan orang tua sebagai "gatekeeper" terhadap anak-anaknya dari dampak negatif yang dapat diakses melalui teknologi seperti internet.Kami juga tertarik untuk fokus membahas mengenai salah satu bagian dari film yang menceritakan mengenai kericuhan di kota Ambon. Kericuhan yang di "framing" oleh media mainstream berbeda dengan realitas yang terjadi di kota Ambon saat itu. Media mainstream menampilkan bahwa yang terjadi di kota Ambon adalah kerusuhan yang sangat parah padahal keadaan yang terjadi biasa saja. Hal ini membuat beberapa masyarakat di kota Ambon panik. Di sisi lain, beberapa warga Ambon berusaha untuk mengklarifikasi keadaan yang terjadi melalui media sosial yang ada. Hal ini menunjukkan adanya "re-engaging citizen" dimana warga menjadi active-audience akan suatu isu yang ditampilkan pada media mainstream.
No comments:
Post a Comment