Tuesday, 14 March 2017


Teknologi informasi dan komunikasi berkembang pesat di dunia hingga saat ini, dan Indonesia juga termasuk salah satu negara yang ikut merasakan dampak teknologi dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut bisa dilihat dalam film dokumenter singkat Linimassa 2 oleh ICT Watch dan Watchdoc. Dalam film tersebut, tercatat 55 juta masyarakat Indonesia sudah terhubung dengan akses internet, 42,9 juta di antaranya memiliki akun Facebook, dan 3,3 juta merupakan blogger

Dalam film ini kita dapat melihat contoh dari Technology Determinism yang hadir di kalangan masyarakat Indonesia. Semenjak kehadiran akses internet di Kampung Cyber di Jogjakarta, gerai batik Lek Iwon mulai merambah pemasarannya ke dunia online dengan membuat laman Facebook dan blog yang menarik para pembeli dari luar negeri seperti Belanda maupun Jepang. Selain penjualan batik Lek Iwon, perubahan perilaku terjadi terhadap anak-anak di Kampung Cyber yang tadinya bermain di luar rumah kini bermain game yang menggunakan akses internet di komputer yang tersedia di desa dan tentunya diawasi oleh orang tua.

Kehadiran internet di Desa Mandalamekar, Tasikmalaya juga membuat warganya mulai melakukan penyebaran informasi melalui website yang berisi program pemerintah seperti pembangunan, laporan keuangan sebagai perwujudan transparansi yang ada di desa, laporan desa yang berisi kegiatan warga Mandalamekar yang meliputi karya seni, program gotong royong, dan lainnya yang sebagian kontributornya merupakan warganya sendiri. Teknologi membuat warga Desa Mandalamekar menjadi sering menerima dan juga berbagi informasi yang dimilikinya.


Selain di Kampung Cyber dan Desa Mandalamekar, internet khususnya media sosial juga mempermudah penyebaran informasi dan membantu pengembangan bagi beberapa komunitas, seperti contohnya di Jakarta. Komunitas HIV/AIDS yang memiliki 2 laman Facebook dan 4 akun Twitter yang memiliki segmentasi khalayak yang berbeda dalam penyampaian informasi mengenai HIV/AIDS. Selain komunitas HIV/AIDS, beberapa kaum difabel juga mulai merambah media sosial seperti Twitter dan Facebook. Bagi kaum tunarungu, Twitter dan Facebook dianggap lebih mudah dan nyaman karena unsur visualnya yang kuat, berbeda dengan televisi yang masih memiliki unsur audio yang lebih sulit untuk dicerna.  
Selain itu, film dokumenter tersebut juga menceritakan tentang regulasi konten media yang dilakukan oleh orangtua di kampung Cyber, Yogyakarta. Dalam konvergensi media, kami sempat membahas tentang bagaimana konten media harus diregulasi penggunaannya. Regulasi ini ditegakkan dari orangtua yang mengawasi anaknya dalam penggunaan internet. Walaupun sudah mengenal internet sejak kecil, anak-anak di kampung Cyber memiliki kemampuan literasi digital yang cukup baik menurut orangtuanya sehingga dipercaya untuk menggunakan internet dalam konteks yang positif, walaupun tetap dalam pendampingan. Maka dari itu, teknologi secara tidak langsung menjadikan orang tua sebagai "gatekeeper"  terhadap anak-anaknya dari dampak negatif yang dapat diakses melalui teknologi seperti internet.

Kami juga tertarik untuk fokus membahas mengenai salah satu bagian dari film yang menceritakan mengenai kericuhan di kota Ambon. Kericuhan yang di "framing" oleh media mainstream berbeda dengan realitas yang terjadi di kota Ambon saat itu. Media mainstream menampilkan bahwa yang terjadi di kota Ambon adalah kerusuhan yang sangat parah padahal keadaan yang terjadi biasa saja. Hal ini membuat beberapa masyarakat di kota Ambon panik. Di sisi lain, beberapa warga Ambon berusaha untuk mengklarifikasi keadaan yang terjadi melalui media sosial yang ada. Hal ini menunjukkan adanya "re-engaging citizen" dimana warga menjadi active-audience akan suatu isu yang ditampilkan pada media mainstream.



Kesimpulan yang dapat kami ambil dari film dokumenter "Linimasa 2" yaitu bahwa kemajuan teknologi memiliki dampak besar untuk memberdayakan masyarakat-masyarakat marjinal yang berada di daerah pelosok maupun orang-orang yang dipandang lemah seperti masyarakat difabel dan penderita HIV. Teknologi dapat memberikan kemanfaatan jika kita dapat mengoptimalkannya untuk hal-hal positif dan berguna bagi kita dan orang-orang lain di sekitar kita.

0

Wednesday, 8 March 2017

REMAPPING GLOBALIZATION

Pernahkah kamu melihat teman-temanmu yang menyukai berpakaian 'ala' cosplay?

sumber: cosplay.com

Tanpa sadar kita sering kali menyerap berbagai budaya yang berasal dari berbagai negara. Globalisasi membuat batas antar negara menjadi tidak terlihat ditambah dengan kemajuan teknologi yang semakin pesat. Globalisasi telah mempengaruhi arus dari berbagai aspek seperti barang, uang, pekerja, dan konten media dari timur ke barat.

Globalisasi membuat berbagai budaya seperti tercampur satu dengan lainnya sehingga sulit untuk membedakan atau bahkan menghapus kebudayaan lokal itu sendiri. Nitendo produk dari Jepang dianggap berasal dari Amerika karena perkembangannya yang sangat pesat di negara Paman Sam tersebut.

sumber: nintendo.com

Contoh lainnya pada masa ini ialah orang-orang di Indonesia lebih nyaman berpakaian dan bergaya ‘ala’ kebarat-baratan dibanding mengkonsumsi produk budaya Indonesia dilihat dari tingginya pemakaian produk brand luar.

Maka dari itu, Globalisasi membuat kita susah untuk memetakan budaya dari suatu negara tertentu. Tanpa sadar negara-negara saat ini saling ‘meracuni’ produk maupun jasa mereka melalui media.

Apakah Anda salah satunya?



Referensi:
Jenkins, Henry. 2004. The Cultural Logic of Media Convergence. USA: Sage Publications, Inc.

Kelompok D
Evi Kusumaningrum
Margaretha Nazhesda
Saeka Minami Kalpika
0


REGULATING MEDIA CONTENT

                Konvergensi media telah meleburkan batasan antara produsen dan konsumen. Konsumen media tidak lagi bersifat pasif, tetapi juga bisa mengontrol konsumsi mereka terhadap media. Mereka juga bisa memproduksi sendiri konten media yang diinginkan. Akibatnya, jumlah konten yang terdapat di media semakin banyak dan bervariasi, bahkan kadangkala tidak terkontrol di era konvergensi media ini.

Image result for konvergensi media
sumber: DapidSaputra.wordpress.com


Orangtua dalam hal ini berperan aktif untuk mengontrol anak-anaknya dalam konsumsi media yang mereka lakukan. Saat teknologi belum berkembang pesat seperti saat ini, orangtua bisa dengan mudahnya melakukan self regulation kepada anak-anaknya. Contohnya seperti larangan menonton televise yang diberlakukan di atas jam 9 malam, karena tayangan di atas jam tersebut sudah tidak layak ditonton oleh anak-anak. Namun, di era konvergensi media, hal ini semakin sulit dilakukan terutama dengan adanya internet. Internet dapat diakses melalui berbagai media digital mulai dari laptop, handphone, tab, dan lain-lain. Berbagai konten media baik yang positif maupun negatif dapat dengan mudah mengekspos banyak khalayak tanpa mengenal golongan usia.

Image result for awkarin
Awkarin
sumber: youtube.com

Pernahkah Anda mengenal seseorang bernama Awkarin? Perempuan yang merupakan sensasi di internet ini merupakan salah satu sosok yang dapat dikatakan “bad influencer” bagi anak muda karena gaya berpakaian yang terbilang cukup terbuka, lagu yang dimiliki dengan lirik yang tidak mendidik, dan vlog yang terlalu mengumbar kehidupan pribadi. Namun Awkarin ini sangat digemari oleh banyak remaja Indonesia dan kerap kali ditiru oleh sebagian besar dari mereka. Hal ini bisa terjadi karena penggunaan akses internet oleh remaja yang sulit dikontrol oleh orang tua.  Konvergensi media menyebabkan internet bisa diakses melalui berbagai gadget dan menjadikan internet sebagai “kebutuhan pokok” dari remaja saat ini. Orangtua kini tidak bisa lagi sekedar menyita gadget atau memutus koneksi internet yang dimiliki sang anak untuk membatasi pengaruh negatif internet.


Untuk mengatasi hal tersebut, anak-anak membutuhkan kemampuan literasi media untuk bisa menyaring sendiri konten-konten di internet yang ia miliki dan bisa memaksimalkan penggunaan internet untuk hal-hal yang positif. Dengan begitu, regulasi konten media dapat berjalan dengan baik.


Referensi:
Jenkins, Henry. 2004. The Cultural Logic of Media Convergence. USA: Sage Publications, Inc.

Kelompok D
Evi Kusumaningrum
Margaretha Nazhesda
Saeka Minami Kalpika




0

Tuesday, 7 March 2017

In this digital age especially in Indonesia with the democration system, many people feel free to express their emotions and words. People think this freedom is a privilege that you can not waste for futile thing. Well, it seems good to being more open mind up; can critize something that we don't agree, see the work of someone via online, or search informations that helped your work/tasks with 'uncle' Google. But, this freedom somehow is being asked. We can access a lot of things in online and offline media, then we copy and paste the works of someone if we'd love to, furthemore we share it to our own social media like it is our own work. A question is spinning around my head. Will the freedom of using the media make people want to take of someone's work without their permission? 

The first book that I read titled "Media Today: Mass Communication In a Converging World" by Joseph Turow. I will be focus on his chapter fifth that discuss about "Controls on Media Content: Goverment regulation, Self-Regulation, and Ethics." I invite you to elaborate more about the regulation specially with this key terms; copyright and fair use. These three things will have a relation with another references.

Joseph Turow told us that "we speak about copyright, we mean the legal protection of a creator’s right to a work." Legal and protection must be underlined as the main points of this sentence. We often think that freedom does not have a limit. People's work need to be appreciated through this kind of protection called copyright. Joseph Turow also explained two reasons why copyright becomes important. "The first is that authors ought to be able to control how their work—their intellectual property—is used. The second is that authors should be paid fairly for the use of their work."  I more agree with the second reason, at least those people with their hard work should be paid "fairly". We've gained already free way to look up for their work through online, so the authority thing like reporting the source is a small appreciation that we can give to them.

Next, I read the article about http://internetsehat.id/2016/12/hak-cipta-indonesia-raya-kena-klaim-kanal-id-igf-kena-takedown/ showing copyright things. This article explained how small things can cause a big problem. The point is people often forget to read about term conditions of some social media because they think their freedom is a every thing that you can do as much as you like. Let's take a look of this picture below:


Some of you ought to ignore this things. This picture shows half of terms that you should know when you decide to engage in Youtube including about copyright things. Not only in Yotube actually, in our own country there is also law that protect about copyright things that is regulated by Law of Republic Indonesia number 28, 2014 about copyright. It explains that "..copyright is the intellectual property in the field of science, art, and literature that have a strategic role in supporting the development of the nation and advancing general welfare as mandated by the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia." You can't underestimate the power of laws that already settled in this country. 

However, copyright is being critized by some people. "How about using some parts of someone's work, can't I?" Well, this question is being answered through the law called "Fair Use". Joseph Turow mentioned that "a person or company may use small portions of a copyrighted work without asking permission. Nonprofit, educational purposes have more leeway than for-profit ventures." In his journal, "Recovering Fair Use" by Steve Collins explained that focus on how this "fair use" thing play the role in our context of fairness in the digital age. I conclud that we can use some somene's work without their permission for some case especially for education reasons. Here's a picture that explain some examples of fair use:

Three references can be summarized that copyright is something that is important for us. You can't blame if someone use your work if the copyright doesn't exist in this world. Imagine that this freedom without copyright already create some problems with taking someone's work for his/her own profit things. At least nowadays, you have something that can protect your great effort or magnificient work through law of copyright. Although we have "fair use". we need to use it wisely. Funny thing comes up in my mind; "When someone cites page 100 of 1000 pages of a book, is it still considered as fair? #FairUse". This question reminds us that we should take this copyright thing seriously. Understand what kind of conditions we should take and not disobey them. 

Let's be a good user of media. Let's be fair when using "fair use". Let's be creative and responsible with your work. You will be respected with your own work especially when you will use some of peole's words/ideas/works make sure you write down the source. 

What is fair is that you know how to use the freedom you've got as responsible and do not cross the line of copyright things.

'Cause you are just too pathetic to take other's property unilaterally.


Reference:
http://internetsehat.id/2016/12/hak-cipta-indonesia-raya-kena-klaim-kanal-id-igf-kena-takedown/
http://www.indolaw.org/UU/Law%20No.%2028%20of%202014%20on%20Copyright.pdf
Collins, Steve. 2008. Recovering Fair Use. Australia. M/C Journal.
Turow, Joseph. 2014. Media Today: Mass Communication in a Converging World. New York. Routledge.

Margaretha Nazhesda
1506686135
0


"Video baru gue di youtube diblokir gara-gara pake lagu barunya Coldplay!"

"Foto yang gue upload di instagram dipake sama orang dong, nggak pake izin lagi!"

"Gue nyetel lagunya BigBang kan di vlog baru gue, eh tiba-tiba videonya di blokir, Padahal nyetelnya juga cuma 10 detik dan nggak terlalu kedengeran. Youtube jadi rese deh."

Sebagai generasi social media savvy, perbincangan-perbincangan tersebut mungkin sering kalian temukan sehari-hari ketika sedang berkumpul bersama teman-teman ataupun dalam chatroom di media sosial. Katanya sih kita bebas berekspresi di internet, tapi kok konten kita malah diblokir dimana-mana? Padahal isinya masih baik dan beretika. Sebenarnya sejauh apa sih batasan-batasan kita di media sosial, terutama terkait hak cipta? Pertanyaan tersebut akan dijawab lebih lanjut dalam artikel ini.

Kebebasan berekspresi dan berpendapat merupakan hak asasi manusia yang dijamin oleh Undang-Undang. Internet memberikan akses maksimal kepada kita para pengguna untuk melakukan hal tersebut. Namun, hak tersebut kadangkala bertabrakan dengan hak-hak yang juga dimiliki orang lain, sehingga tetap dibutuhkan sebuah regulasi untuk mengatur hal tersebut.

Berbagai aturan pun dirumuskan oleh pemerintah untuk melindungi hak-hak rakyatnya dalam berekspresi dan berpendapat, termasuk terkait dengan hak cipta. Hak cipta dalam UU No.28 Tahun 2014 adalah kekayaan intelektual di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang mempunyai peranan strategis dalam mendukung pembangunan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum. Keberadaan intenet semakin mempermudah kesempatan kita untuk mengunggah hasil karya sekaligus menggunakan hasil karya orang lain. Jika tidak ada undang-undang yang mengatur tentang hal ini, kepemilikan akan suatu hasil karya akan menjadi tidak teratur.

Ketiga bahan bacaan yang diberikan berbicara tentang copyright, yaitu proteksi legal atas hasil karya milik seseorang. Copyright merupakan salah satu bentuk peraturan yang dibuat pemerintah dan media-media digital untuk mengurangi kasus terjadinya pelanggaran hak cipta. Dalam pelaksanaannya, copyright juga beriringan dengan fair use, yaitu hak seseorang untuk memasukkan sebagian kecil karya cipta orang lain ke dalam konten yang ia buat selama karya tersebut bertujuan untuk nonprofit dan edukasi dengan adanya transformasi dari bentuk sebelumnya. Tujuannya adalah agar tidak terjadi monopoli dan monetisasi oleh pemilik modal atas suatu karya.

Hukum tentang copyright di media digital mulai tahun 1998 diatur oleh undang-undang khusus di Amerika Serikat, yaitu Digital Millenial Copyright Act atau DMCA. Anehnya, di dalam DMCA ini tidak disebutkan sama sekali mengenai fair use, sehingga penggunaan konten tanpa perlu izin menjadi sebuah hal yang ilegal. Hal tersebut terjadi pada kasus Holden Lenz yang meng-upload videonya berjoget lagu Prince, Let;s Go Crazy dan kasus yang terdapat di artikel http://internetsehat.id/2016/12/hak-cipta-indonesia-raya-kena-klaim-kanal-id-igf-kena-takedown/ dimana sebuah video konvensi internasional di-take down karena dalam pemutaran lagu Indonesia Raya yang dinyanyikan bersama-sama dalam acara itu menggunakan aransemen yang sudah diakui copyright nya oleh PT Aquarius Musikindo.





Evi Kusumaningrum (1506729481)



Sumber:
http://internetsehat.id/2016/12/hak-cipta-indonesia-raya-kena-klaim-kanal-id-igf-kena-takedown/
https://www.copyright.gov/legislation/dmca.pdf
Collins, Steve. 2008. Recovering Fair Use. Australia. M/C Journal.
Turow, Joseph. 2014. Media Today: Mass Communication in a Converging World. New York. Routledge.
0

Pernah gak sih, disaat lagi asik nonton video-video di YouTube terus tiba-tiba ada satu video yang tampilannya kayak gini:


Image result for youtube copyright claim
sumber: youtube.com

Perasaan kemarin masih bisa dibuka, kenapa sekarang malah kena takedown YouTube, ya? Sebenernya copyright tuh apa sih?

Copyright atau hak cipta dapat berarti "the legal protection of a creator’s right to a work" (Turow, 2014: 131) atau perlindungan hukum tentang hak pencipta terhadap karyanya. Definisi lain mengenai hak cipta juga tercantum dalam UU No. 28 Tahun 2014 Pasal 1 (1) Tentang Hak Cipta bahwa "Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan." 

Singkatnya, dengan adanya copyright ini masyarakat gak bisa semena-mena terhadap hasil karya seseorang, karena hasil karya tersebut termasuk penciptanya punya perlindungan hukum. Di Indonesia, pelanggaran terhadap hak cipta punya sanksi yang diatur dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 Pasal 112 Tentang Hak Cipta yang berbunyi, "Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) dan/atau Pasal 52 untuk Penggunaan Secara Komersial, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)."

Tapi tenang! Hal ini bukan berarti karya-karya yang punya hak cipta sama sekali gak boleh digunakan dan digandakan. Ada yang disebut dengan istilah fair use yang bisa dipelajari supaya gak salah kalo mau berurusan dengan karya orang lain.

Fair use
 menurut Joseph Turow (2014: 132) adalah "provisions under which a person or company may use small portions of copyrighted work without asking permission" atau ketentuan dimana seseorang atau sebuah perusahaan dapat menggunakan sebagian kecil karya yang tercatat hak cipta tanpa harus izin kepada si pencipta karya. Ingat, cuma sebagian kecil saja, bukan semua isinya. 

Di situs YouTube terdapat beberapa video yang merupakan contoh dari fair use, salah satunya adalah video yang berjudul "Donald Duck Meets Glenn Beck in Right Wing Radio Duck" yang diunggah oleh user Pop Culture Detective. Dalam situs YouTube dijelaskan bahwa video ini tergolong dalam fair use karena isinya merupakan gabungan dari kutipan beberapa materi yang berasal dari sumber yang berbeda-beda yang kemudian menciptakan pesan yang baru tentang krisis ekonomi. 


sumber: https://www.youtube.com/watch?v=HfuwNU0jsk0

Contoh yang paling dekat untuk menjelaskan artikel ini adalah kebiasaan copy-paste atau copas saat mengerjakan tugas oleh sebagian besar siswa atau bahkan mahasiswa. Perlu diketahui jika seseorang melakukan copas kutipan dari buku tanpa menyertakan sumber, berarti orang tersebut telah melanggar hak cipta. Kenapa? Karena isi dalam tiap buku yang dikutip pasti dilindungi oleh hak cipta. Hayo, siapa yang masih suka copy-paste?

Image result for copy paste
sumber: vtagion.com

Memang dalam menulis paper, makalah, maupun skripsi pasti gak pernah jauh dari buku sebagai bahan utama penulisan. Untuk menghindari plagiarisme, gak mungkin kan para siswa dan mahasiswa harus kontak ke penulis bukunya untuk minta izin tiap mau mengutip buku. Maka dari itu fair use dapat digunakan untuk hal seperti ini. Beberapa kalimat dari buku dapat diambil untuk dikutip tentunya dengan menyertakan sumber tanpa harus izin kepada penulis.


Jadi sudah paham kan tentang copyright dan fair use? Yuk hargai tiap hasil karya yang ada dengan menggunakan aturan yang benar!


Referensi:
Collins, Steve. 2008. Recovering Fair Use. Australia. M/C Journal.
Turow, Joseph. 2014. Media Today: Mass Communication in a Converging World. NY: Routledge.
Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta
http://internetsehat.id/2016/12/hak-cipta-indonesia-raya-kena-klaim-kanal-id-igf-kena-takedown/
https://www.youtube.com/yt/copyright/fair-use.html


Saeka Minami Kalpika

1506686066
2